Jumat, 28 Juli 2017

Pamit

Kita bertemu lagi.
Masih di tempat favorit kita berdua.
Seperti tahun-tahun yang lalu.

Aku memilih duduk di depanmu.
Sengaja, agar aku bisa melihat dengan lekat ekspresi wajahmu.
Mungkin untuk yang terakhir.

Masih kemungkinan..
Kalau mau jujur, aku tidak berharap ini yang terakhir.

Kita terdiam.
Sama sama bingung untuk memulai percakapan.

Kemudian aku tersadar, sudah terlalu banyak basa basi di kehidupan kita berdua.
Maka, tanpa mengucapkan kata apa kabar.
Aku segera melaksanakan tujuan utama.

"Ini buat kamu."
Seraya aku sodorkan sebuah amplop biru.
Sebelum kamu membukanya, aku pun menjelaskan
"Aku mau nikah, ndre. Bulan depan."

Kamu diam. Lima detik kemudian tersenyum.
Kecut.
Berubah.
Padahal dulu, aku tergila-gila akan senyum itu.

"Oh, selamat sya. Sama siapa?"
"Temen kantor aku, ndre. Eemm undangannya belum disebar sih. Mungkin minggu depan. Kamu yang paling pertama dapet undangannya."

...

Kemudian kita sama-sama terdiam, kembali.
Larut dengan pikiran sendiri.

"Emmm sya, tapi kayanya aku ga bisa dateng. Tanggal segini aku dinas di luar kota."
"Oh iya gapapa ndre." Aku sudah menebak itu sebelumnya.
"Yaudah aku balik dulu ya ndre."
Aku tersenyum.
Sedikit lama.
Sambil memandang lekat sosokmu.

"Iya sya, sekali lagi selamat ya. Semoga bahagia."
"Makasih ndre."

Aku cepat-cepat berbalik.
Ingin pergi segera.
Tak tahan lagi.
Dadaku terasa sangat sesak.

Belum lima langkah pergi dari tempatmu.
Air mataku sudah turun dengan derasnya.

Seharusnya dari dulu aku sadar.
Hubungan kita terlalu lama berbasa-basi.

Juga seharusnya kamu sadar.
Tak selamanya cinta berakhir dengan berjodoh.



Dari aku, yang selalu kamu angan-angankan bersama sampai tua.

Iya, hanya berangan.

Terimakasih 7 tahunnya. Terasa begitu indah.